Oleh : Mochamad Permadi
Aksi Kamisan akhirnya kembali digelar di Sukabumi. Terakhir kali payung-payung hitam itu berdiri di Balai Kota pada 2019, lalu perlahan hilang bersama riuh politik, hiruk-pikuk aktivitas kota kecil, dan budaya diam yang makin menebal.
Namun kemarin, di bawah langit senja yang muram, ingatan itu kembali dipanggil. Dan dari segala isu yang mungkin diangkat, Sukabumi memilih memulai dari yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari guru dan buruh dua pilar bangsa yang paling sering dipuji, tetapi paling jarang diperjuangkan negara.
Poster aksi kemarin berbunyi: “Senja untuk Guru dan Buruh: Dua Pilar Bangsa yang Masih Bertahan dalam Ketidakadilan”.
Di satu sisi, kalimat itu puitis. Tapi di sisi lain, ia adalah tamparan yang lembut namun telanjang. Tamparan bagi mereka yang berkuasa, tapi juga bagi masyarakat yang terbiasa menganggap ketidakadilan sebagai rutinitas.
Sukabumi bukan kota besar, tetapi bukan berarti ketidakadilan tidak hidup di sini. Upah buruh yang belum diumumkan, guru honorer yang bertahan dengan gaji tak layak, praktik perburuhan yang rapuh, serta ruang demokrasi yang makin sempit—semuanya menumpuk menjadi bara yang menunggu dinyalakan.
Kembalinya Kamisan di Sukabumi seolah menjadi pengingat bahwa waktu tidak menyembuhkan apa pun jika negara tetap menutup mata.
Senja kemarin adalah senja yang memanggil kembali isu-isu yang dilupakan, korban-korban yang tak selesai, dan pertanyaan-pertanyaan yang terus menggantung: bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa berdiri tanpa menghargai mereka yang mengajar dan mereka yang bekerja? Berapa lama lagi kota ini akan membiarkan buruh hidup dengan ketidakpastian? Berapa lama lagi guru akan disuruh berkorban atas nama “pengabdian” tanpa dipastikan kesejahteraannya?Aksi Kamisan memang senyap.
Tidak ada Chaos,Yang ada hanya diam—diam yang menggedor lebih keras daripada teriakan. Diam yang bukan tanda pasrah, tetapi bentuk perlawanan paling dasar: menolak melupakan.
Dalam diam itu, Sukabumi sedang berkata bahwa ada yang tidak beres dengan cara negara memperlakukan rakyatnya. Bahwa ketidakadilan bukan sekadar angka statistik yang dibacakan pejabat, tetapi kenyataan hidup yang dirasakan tulang dan keringat warga di kota ini.
Kembalinya Kamisan juga memperlihatkan bahwa ruang-ruang warga masih ada, meski kecil. Bahwa perlawanan bisa lahir bahkan dari kota yang sering dianggap tenang dan apolitis.
Bahwa generasi baru tidak hanya mewarisi ingatan, tetapi juga keberanian untuk menagih janji-janji yang tertunda. Dan bahwa Sukabumi, sekecil apa pun, tetap punya hak untuk bersuara.
Senja memang selalu memberi kesan muram, tetapi ada sesuatu yang indah di balik kemarin: api kecil yang sempat padam, mulai menyala lagi. Meski belum besar, setidaknya kota ini sudah kembali mengingat.
Setidaknya payung-payung hitam itu berdiri lagi. Setidaknya anak-anak muda mulai berani bertanya dan menggugat lagi. Dan mungkin, dari aksi yang sederhana dan senyap kemarin, Sukabumi bisa memulai kembali perjalanan panjang menuju keadilan yang selama ini redup.
Karena pada akhirnya, kita tahu: ketika ketidakadilan hidup di mana-mana, maka suara rakyat pun harus hadir di mana-mana bahkan di kota kecil bernama Sukabumi, di bawah payung hitam, pada senja Kamisan yang kembali.
Penulis Opini: Mochamad Permadi / Mahasiswa Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung


