Oleh : Mochamad Permadi
Rasanya belum lama Bupati Sukabumi Asep Japar dan Wakil Bupati Andreas memulai tugas memimpin daerah ini. Kini, masa kepemimpinannya hampir genap satu tahun, terhitung sejak Februari 2025, dan periode ini cukup untuk menilai arah kebijakan, prioritas pembangunan, dan langkah-langkah nyata pemerintah daerah.
Kendati belum sepenuhnya adil menilai keberhasilan secara keseluruhan, hampir satu tahun ini menjadi tolok ukur awal untuk menakar cetak biru kepemimpinan Bupati Sukabumi apakah janji kesejahteraan bagi rakyat mulai terlihat di lapangan, atau masih sebatas proyek fisik dan seremoni politik.
Kasus tragis Raya, bocah balita dari Sukabumi yang meninggal akibat infeksi cacing parasit dan gizi buruk, menjadi indikator nyata apakah kebijakan dan program pemerintah benar-benar menyentuh mereka yang paling rentan.
Beberapa isu strategis mulai dari penanganan kemiskinan ekstrem, kesehatan masyarakat, hingga koordinasi antar instansi dapat dijadikan parameter untuk mengevaluasi efektivitas birokrasi, konsistensi program, dan sejauh mana kepemimpinan daerah benar-benar berpihak pada rakyat.
Di sebuah kampung kecil di Sukabumi, Raya tumbuh dalam kesederhanaan yang pahit. Tubuh mungilnya tampak ringkih, namun senyum polosnya selalu hadir, menutupi kenyataan bahwa ia tengah berjuang melawan penyakit yang tidak terlihat mata.
Awalnya, keluarga mengira ia hanya “cacingan biasa”. Namun nyatanya, tubuhnya sudah diserang infeksi cacing parasit parah, diperparah oleh kondisi kurang gizi kronis. Infeksi itu telah menyebar ke seluruh tubuh, merusak organ-organ vital, hingga menyebabkan sepsis berat yang akhirnya merenggut nyawanya.
Kematian Raya bukan sekadar angka statistik atau kasus medis, melainkan cermin kegagalan sistem perlindungan sosial Sukabumi. Ia menunjukkan bagaimana kemiskinan ekstrem, akses kesehatan yang terbatas, dan lemahnya deteksi dini menjadi racun bagi masa depan anak-anak di daerah ini.
Di tengah anggaran kesehatan yang besar dan janji kesejahteraan yang digaungkan, tragedi ini seharusnya bisa dicegah jika birokrasi dan kepemimpinan benar-benar berpihak pada rakyat, hampir satu tahun pemerintahan ini belum menyentuh inti persoalan sosial masyarakat.
Tragedi meninggalnya Raya seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah. Itu bukan sekadar kemiskinan ekstrem, tapi potret nyata gagalnya sistem perlindungan sosial.
Arah kebijakan pembangunan selama hampir satu tahun terakhir masih berpusat pada proyek fisik dan seremoni politik, bukan pada kesejahteraan warga. Pemerintah boleh berbangga dengan pembangunan jalan dan peresmian proyek, tapi kalau rakyat masih hidup dalam kesusahan, apa arti semua itu?
Pembangunan tanpa rasa kemanusiaan hanyalah panggung pencitraan. Minimnya kepekaan sosial dan koordinasi antar instansi, yang membuat banyak persoalan kemiskinan dan kesehatan masyarakat luput dari perhatian pemerintah.Negara baru bergerak ketika rakyat sudah meninggal dan kasusnya viral.
Itu bukan bentuk kehadiran, tapi refleksi dari lemahnya empati birokrasi, tragedi tersebut adalah indikator kegagalan sistem kesejahteraan daerah.Kalau seorang anak bisa meninggal dalam kondisi seperti itu di tengah klaim pembangunan, berarti yang gagal bukan cuma kebijakan tapi juga nurani pejabat publik.
Satu tahun ini seharusnya jadi momentum refleksi, bukan selebrasi. Dari janji kesejahteraan ke tragedi kemanusiaan, Sukabumi sedang diuji apakah pemimpinnya masih punya kepekaan terhadap penderitaan rakyat atau hanya sibuk menjaga citra kekuasaan.
Kini publik menanti, apakah pemerintahan Kabupaten Sukabumi benar-benar belajar dari kasus tragis Raya dan tragedi sosial lainnya, atau kembali tenggelam dalam rutinitas seremonial yang menutup mata dari kenyataan rakyatnya.
Penulis Opini: Mochamad Permadi / Mahasiswa Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung


