“Walau Puskesmas tidak mau menyampaikan hal itu salah satunya dari abu PLTU,” ujarnya. Warga yang terdampak masalah kesehatan itu paling banyak anak usia 2-7 tahun juga kalangan orang lanjut usia.
Walhi Jabar juga menyoroti kebijakan tentang co-firing atau pembakaran bersama batubara dengan bahan biomassa di PLTU. Caranya bisa dicampur secara langsung, tidak langsung seperti diolah menjadi gas baru dibakar, dan secara paralel dengan menggunakan boiler berbahan bakar pelet bio massa.
Temuan Walhi di lapangan mengenai implementasi Hutan Tanaman Energi dan Industri Sawdust atau serbuk gergaji di Jawa Barat, yaitu terjadi pelepasan emisi baru sebanyak 26,48 juta ton emisi. Tanaman energi yang ditanam dianggap menyerap emisi pembakaran biomassa di PLTU.
Baca juga: Tekan Kekerasan pada Perempuan dan Anak, DP2KBP3A Kabupaten Bandung Bentuk SAPPANA
Sementara potensi deforestasi sekitar 1 juta hektar, dan potensi konflik di wilayah hulu terkait lahan KHDPK (Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus) yang digunakan. “Sosialisasi tidak partisipatif, implementasi tidak efektif contohnya, di wilayah Sukabumi penyemaian tanaman energi dilakukan di tahun 2022 tetapi ditinggalkan begitu saja,” ujar Wahyudin.
Akademisi dari Universitas Padjadjaran yang juga anggota tim kajian lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Erri Noviar Megantara mengatakan, bukan PSN yang salah melainkan pengurusan proyeknya. Permasalahan yang muncul di masyarakat seakan membuat kehadiran negara tidak ada.
“Ini bukan saja proyek PLTU, dari awal sampai akhir seringkali abai,” katanya. Jika dari awal proyek benar, menurutnya tidak bakal ada warga yang protes ketika istilah ganti rugi diganti dengan ganti untung. Kemudian pendapatan nelayan yang hilang, diganti dengan penghasilan yang lebih baik.