Sukabumi – Di beberapa sekolah, ruang kelas yang biasanya riuh oleh tawa anak-anak mendadak berubah menjadi tempat kepanikan. Siswa terbaring lemah, sebagian muntah-muntah, sebagian lain harus dilarikan ke puskesmas terdekat.
Para guru dan orang tua kalut, tak menyangka menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan jadi penopang kesehatan justru berbalik menjadi sumber penyakit.
Fenomena keracunan massal akibat MBG makin sering terjadi sepanjang 2025. Hingga 19 September, sedikitnya 5.626 siswa di berbagai daerah menjadi korban.
Catatan kasus memperlihatkan betapa meluasnya sebaran insiden: mulai dari 301 siswa di Bandung Barat (22 September), 569 siswa di Garut (18 September), 251 siswa di Banggai Kepulauan (17 September), 467 siswa di Lebong (27–28 Agustus), hingga 379 siswa di Kupang (22 Juli). Bahkan sejak Mei hingga Agustus, kasus terus muncul di Bogor, Sleman, dan Sragen.
Jumlah ini bukan hanya statistik. Di baliknya ada anak-anak yang seharusnya mendapatkan gizi layak, justru mengalami penderitaan akibat kelalaian sistem.
Data Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan sebagian besar dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terlibat dalam program MBG belum memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
Sertifikat ini sejatinya menjadi standar minimal untuk memastikan dapur memenuhi syarat kebersihan, mulai dari bahan baku, proses memasak, hingga penyajian.
Ketiadaan SLHS memperlihatkan lemahnya pengawasan di lapangan. Padahal BGN memegang mandat besar, merumuskan tata kelola makanan, mengawasi distribusi, sekaligus memastikan standar gizi terpenuhi.
Kondisi ini memantik reaksi dari mahasiswa. Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Sukabumi menilai deretan kasus keracunan MBG adalah alarm keras bagi pemerintah daerah.Ketua PMII Kota Sukabumi, Bahrul Ulum, menegaskan keamanan pangan tidak bisa dipandang sebelah mata, dikutip Pikiran Rakyat, Kamis (02/09).
“SLHS bukan formalitas, melainkan bukti nyata komitmen melindungi kesehatan penerima manfaat MBG. Kalau tidak ada sertifikasi, pemerintah wajib menghentikan sementara dapur MBG hingga syarat itu dipenuhi,” ujar Bahrul, Rabu (1/10/2025).
Ia mendesak Pemkot Sukabumi, terutama Dinas Kesehatan, terlibat aktif dalam pengawasan, pembinaan, hingga evaluasi dapur MBG.
Menurutnya, mencegah jauh lebih penting dibanding menunggu kasus muncul.Menanggapi desakan itu, Ketua Satgas Percepatan Penyelenggaraan Program MBG Kota Sukabumi, Andri Setiawan, menyebut pihaknya masih dalam tahap awal kerja.
“Di Kota Sukabumi ada 40 dapur MBG, 31 sudah beroperasi, 9 lainnya masih berproses. Apakah semuanya punya SLHS, itu sedang kami pastikan di lapangan. Satgas ini baru terbentuk sepekan lalu,” kata Andri.
Ia menambahkan, satgas yang beranggotakan lintas dinas kini fokus pada monitoring dan evaluasi agar tidak terjadi keracunan seperti di daerah lain.
“Kami memahami banyak kasus terjadi, tapi kami berupaya maksimal agar Sukabumi aman,” ujarnya.
Kasus-kasus keracunan ini menunjukkan bahwa program MBG, yang sejatinya ditujukan untuk meningkatkan gizi anak sekolah, kini menghadapi krisis kepercayaan. Celah dalam standar higienis dapur, lemahnya sertifikasi, serta terbatasnya pengawasan membuka ruang bagi tragedi berulang.(**)