Oleh R. Herawati Suryanegara
Demagog adalah istilah dalam ilmu politik yang berasal dari bahasa Yunani , demos yang artinya rakyat dan “agogos”yang artinya pemimpin dalam konotasi negatif. Para politikus cenderung menjadi demagog untuk menanamkan pengaruhnya kepada masyarakat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, menerjemahkan demagog sebagai penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan pandai membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Dalam sistem politik demokrasi, demagog dan narsisme adalah penyakit yang sulit dihilangkan. Para politikus berlomba merayu masyarakat dengan orasi-orasi yang memikat dengan bekal kemampuan menyaru dalam beribu wajah, sebanyak wajah apa yang diharapkan masyarakat untuk hadir saat tersebut.
Ciri-ciri seorang demagog diantaranya adalah :
Selalu mencari kambing hitam atas segala masalah, sehingga kebencian terhadap suatu kelompok tertentu ditumbuhkan, dipelihara, bahkan diperdahsyat identitasnya
Argumen yang menjadi senjata biasanya ad hominem (menyerang pribadi orang) dan argumen kepemilikan kelas yang penuh kebencian
Seorang demagog lihai membuat skematis dengan menyederhanakan gagasan atau pemikiran agar bisa memiliki efektivias sosial sehingga menjadi sebuah opini dan keyakinan.
Bahaya politikus demagog di alam demokrasi adalah adanya tipu daya para politikus tersebut dalam meraih kekuasaan strategis atau untuk menempati jabatan-jabatan publik. Mereka dapat mengalahkan elektabilitas politikus jujur, yang berusaha berbicara seadanya, tidak bombastis, berbasis pada fakta-fakta dalam mengemukakan program-programnya, dan kemampuan riil apa yang dapat dilakukan. Hal ini tentu berkaitan pula dengan kondisi masyarakat yang belum seluruhnya melek politik dan mereka menjadikannya sebagai sasaran empuk. Politikus demagog juga melakukan marketing politik melalui media-media bayaran dan tampaknya dunia jurnalistik banyak yang tertarik untuk menjadi marketing mereka. Beberapa media atau situs tampaknya dapat mereka kuasai dengan baik, berlaku sebagai penyambung propaganda dan “komunikasi politik” mereka dan pencitraan sehingga terbentuk opini publik yang baik tentang diri mereka.
Namun kemenangan para politikus demagog yang berbasis pada pencitraan dan tipu-tipu, pada akhirnya akan menyakiti masyarakat itu sendiri. Saat telah menguasai posisi yang diinginkan, masalah janji ditepati atau tidak, sesuai fakta atau tidak, bukan menjadi pertimbangan. Mereka dapat menyembunyikannya dalam permaianan kata. Penyederhanaan masalah seolah selesai dengan sebuah orasi. Maka bernarlah apa yang dikemukakan Prof. Mahfud MD, bahwa “demagog adalah para orator ulung, terdiri dari pejabat negara yang pandai membuat citra baik, namun hakekatnya mereka membohongi rakyat” . Kelihaian politikus demagog yang bisa menjelma dalam seribu wajah dan beragam peran, demikian meyakinkan sehingga sulit bagi masyarakat untuk tidak mempercayai politikus tersebut tengah bermain peran.
Untuk meninabobokan masyarakat selama dalam masa kekuasaannya, para demagog mampu berlaku seolah sedang memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan rakyat padahal yang mereka lakukan semata adalah pengejaran kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka juga gemar memecah belah masyarakat dengan beragam issue dan kemudian hadir menjadi pahlawan untuk konflik-konflik yang sengaja mereka ciptakan. Maka selayaknya kita mewaspadai bagaimana cara-cara mereka melakukan politik adu domba dan bagaimana mereka melakukan pembiaran kebencian tumbuh berlarut-larut dalam masyarakat sementara mereka melangsungkan hajat pribadinya dengan tenang tanpa gangguan.