Sukabumi – Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI Kerakyatan) menilai kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang ditetapkan pemerintah belum mampu menjawab persoalan mendasar kesejahteraan buruh. Kenaikan upah tersebut dinilai masih belum sejalan dengan realitas kebutuhan hidup layak (KHL) yang terus meningkat.
Mochamad Permadi, warga asli Sukabumi yang menjabat sebagai Wakil Koordinator Nasional Isu Ketenagakerjaan BEM SI Kerakyatan, mengatakan bahwa kenaikan UMP tidak dapat dipahami sebagai keberhasilan kebijakan apabila upah minimum yang ditetapkan masih tertinggal dari kebutuhan hidup buruh.
“Kenaikan UMP belum bisa dibaca sebagai kemajuan apabila upah minimum tetap tidak mampu mengejar kebutuhan hidup layak. Dalam kondisi ini, negara sebenarnya sedang melegalkan ketertinggalan upah dari biaya hidup buruh,” ujar Permadi saat diwawancarai sukabumiplus.com.
Ia menilai, pendekatan pemerintah dalam kebijakan pengupahan masih menempatkan buruh sebagai variabel penyesuaian, bukan sebagai subjek utama pembangunan ekonomi. Padahal, buruh memiliki peran sentral dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca juga: Senja yang Kembali Menyalakan Ingatan: Kamisan Sukabumi dan Luka Lama yang Belum Sembuh Setelah enam tahun sunyi
“Upah layak bukan ancaman bagi ekonomi. Justru sebaliknya, upah yang memadai akan memperkuat daya beli dan konsumsi masyarakat. Dengan kontribusi konsumsi sekitar 54 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, menahan upah berarti melemahkan mesin utama pertumbuhan itu sendiri,” ujarnya.
Permadi juga mengkritik proses perumusan kebijakan UMP 2026 yang dinilainya belum sepenuhnya transparan dan minim partisipasi bermakna dari serikat buruh.
“Serikat buruh kurang dilibatkan secara serius dalam penyusunan kebijakan UMP. Padahal mereka yang paling paham kondisi kerja dan kebutuhan buruh sehari-hari” tegasnya.
Ia menambahkan, kebijakan UMP yang tidak berpijak pada kebutuhan hidup layak dan partisipasi buruh berpotensi memperdalam ketimpangan hubungan industrial dan memicu ketegangan sosial.
“Tanpa perubahan arah kebijakan, persoalan upah murah akan terus direproduksi setiap tahun,” pungkas Permadi.
Reporter: Dharmawan Hadi


